Jamu…jamu…jamu…
Siapa yang sampai sekarang masih minum jamu? Cung angkat tangan!
Dari kecil aku sudah dikenalkan minum jamu, tapi jamu yang rasanya manis, seperti gula asem dan beras kencur. Untungnya aku enggak kebagian jamu cekok.
Iya, jamu cekok. Jamu yang digunakan untuk meningkatkan nafsu makan. Seingatku jamu cekok warnanya cenderung hijau. Kalau adik susah makan dan orang tua sudah buntu dengan beragam cara agar adik mau makan jamu cekok menjadi andalan.
Saat memasuki remaja, terlebih memasuki masa haid, aku dikenalkan dengan jamu kunir asem. Aku sering minum jamu kunir asem pasca haid atau mulai ada jerawat yang datang tanpa diundang di wajah.
Jamu dari masa ke masa hingga Jamu Tak Jemu
Zaman dahulu jamu dijajakan dengan digendong. Penjual jamu menggunakan pakaian jawa dan rambut disanggul. Botol-botol jamu yang sudah dimasukkan ke dalam tenggok lalu digendong menggunakan selendang. Tak lupa tangan mbok jamu membawa ember kecil berisi air dan talenan kecil sebagai tatakan gelas.
Seiring berjalannya waktu, penjual jamu menggunakan gerobak untuk menjemput calon pembeli. Semakin ke sini kemasan jamu makin berinovasi yaitu menggunakan botol kemasan kekinian seperti produk Jamu Tak Jemu. Menurutku konsepnya bagus, sebagai salah satu cara mengenalkan jamu ke remaja. Apalagi jamu sebagai warisan budaya Indonesia, lho. Biar enggak kalah sama boba, thai tea, dan minuman kekinian yang lain.
Pertama kali mengenal Jamu Tak Jemu
Berawal dari postingan teman yang sedang trial membuat jamu. Lalu, aku tertarik mencobanya. Eh, sama Nok Jamu malah dikasih cuma-cuma. Pertama kali yang dirilis varian kujae, yaitu kunyit, jahe, dan sereh. Rasa rempahnya kerasa semua dan kental. Hangat di badan. Cocok banget untuk meningkatkan stamina saat pandemi seperti ini.
Tak lama berselang, rilis lagi varian gula asem, kunir asem, dan beras kencur. Semuanya rasanya enak. Jamu favoritku di Jamu Tak Jemu yaitu gula asem dan kunir asem. Gula asemnya bener-bener nyegerin apalagi saat dingin. Kunir asem dengan ending agak pahit dan kental ini, berhasil membawaku untuk bernostalgia dengan jamu gendong dekat rumah yang kental dan enak.
Selain jamu yang kental, ciri khas dari Jamu Tak Jemu yaitu menggunakan gula jawa. Sempat wawancara dengan Nok Jamu -pemilik dan produsen Jamu Tak Jemu- ternyata gula jawa yang digunakan enggak sembarangan.
“Kami cocok memakai gula jawa asal Purworejo, Wates, dan Kebumen karena warnanya cerah dan asli. Sedangkan kebanyakan yang dijual di pasaran ada campuran gula pasir dan warnanya gelap.”
Pantas saja rasanya beda gitu dan enggak serek di tenggorokan.
Jamu Tak Jemu bisa tahan beberapa hari di lemari pendingin, lho. Kunir asem dan gula asem, kalau belum dibuka dan disimpan di kulkas terus dapat bertahan dua minggu. Varian kujae, sekitar 4 harian di kulkas dalam keadaan tertutup. Sedangkan beras kencur ketahanannya lebih singkat dibanding tiga varian yang lain. Solusinya jika ingin stok banyak dimasukkan ke dalam freezer. Lebih bagus lagi kalau di kemasan jamu ditulis tanggal kadaluarsanya, jaga-jaga kalau lupa, hehe.
Produksi jamu higienis menjadi kunci agar aman dikonsumsi
Hasil seluncur di internet, Ditjen Farmalkes melalui Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian melakukan Sosialisasi Penggunaan Jamu yang Aman, Bermutu, dan Bermanfaat. Sosialisasi menekankan bahwa
“Pelaku Usaha Jamu Gendong (UJG) dan Usaha Jamu Racikan (UJR) maupun masyarakat adalah bagaimana penggunaan jamu agar dapat memenuhi persyaratan kesehatan, yang aman dikonsumsi, terutama dalam aspek kebersihan (higienis dan sanitasi) dalam pembuatan jamu".
Produksi Jamu Tak Jemu diproduksi tiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Saat konsumsi jamu ini aku merasa percaya dan aman karena yang memproduksi mahasiswa jurusan Ilmu Teknologi Pangan (ITP). Insyaa Allah, lebih paham tentang kebersihan produksi makanan dan minuman. Insyaa Allah, sejalan dengan instruksi Ditjen Farmalkes.
Aku juga mengulik tentang kehigienisan Jamu Tak Jamu langsung kepada Nok Jamu. Ternyata sebelum pengolahan prosesnya cukup panjang.
Pertama harus memastikan bahan baku rimpang. Adakah yang sudah mulai busuk bagian dalamnya, karena memang tidak terlihat di permukaan. Selanjutnya, dicuci bersih dengan menghilangkan tanah-tanah yang menempel pada rimpang. Tidak cukup sampai disitu, setelah bersih rimpang lanjut dicuci dengan cuka apel sebagai antiseptik alami. Kemudian baru dihancurkan sampai halus.
Dari rasa kepo ini, aku baru tahu kalau proses memasak di Jamu Tak Jemu menggunakan air galon. Mengapa tidak menggunakan air keran? Kata Si Nok Jamu, jamu yang dihasilkan lebih cepat basi ketimbang menggunakan air galon.
Duh, jadi mahal dong jamunya? Tenang jamu botol dengan kemasan 250 ml cukup bayar goceng aja alias lima ribu rupah. Terjangkau, kan?
Jamu Tak Jemu peduli lingkungan juga, lho
FYI, saat beli jamu di Jamu Tak jemu kita turut menyayangi bumi. Lhah, kok bisa? Soalnya botol-botol bekas jamu di salurkan ke bank sampah Kreasik.
Eh, botol?
Iya, setelah beli jamu Tak Jemu botolnya jangan langsung dibuang. Dibersihkan dulu, dikeringkan, lalu dikumpulkan sampai 10 botol. Setelah itu, serahkan lagi ke Jamu Tak Jamu untuk ditukar dengan satu botol jamu segar. Botol-botol itulah yang akan diserahkan ke Kreasik untuk diolah. Asyik, bukan?
Rasa kepoku masih menggelayuti. Tiba-tiba muncul pertanyaan, apakah prosesnya juga minim sampah?
“Diusahakan minim sampah. Misalnya bersih-bersih pakai kain lap, bukan tissue. Tetapi, ketika harus pakai sarung tangan plastik, maksimal dipakai untuk produksi sehari itu. Kemudian sarung tangan dicuci dan dipilah.”
Menurutku keren, usaha Jamu Tak Jemu telah memperhatikan aspek 3P, Profit, People, dan Planet. Mencoba minim sampah dari hulu ke hilir.
Spolier-nya udahan, ah. Enggak sabar order Jamu Tak Jemu, kan? Nih, aku kasih kontaknya.
Sekian review hari ini semoga bermanfaat. Salam sehat untuk Teman Ami dimanapun berada.
Sumber:
https://farmalkes.kemkes.go.id/2021/12/sosialisasi-penggunaan-jamu-yang-aman-bermutu-dan-bermanfaat-2/