Catatan Amiamia

Berbagi cerita dan rasa untuk aku darimu

Diberdayakan oleh Blogger.
  • Beranda
  • About
  • Lomba
  • Review
  • Opini


“Kamu habis lulus mau kemana?”
“Hmm...belum tahu ngalir aja deh”
“Hmm, masa sih enggak punya bayangan mau ngapain gitu?”
“Hmm... masih abu-abu.”

Waduuh ilustrasi di atas kok aku banget yak. Wkwk. Eits, Insyaa Allah udah agak mendingan. Enggak separah yang dulu.

Semoga kamu sudah memiliki pandangan hidup jangka pendek maupun jangka panjang yak. Karena hidup enggak boleh ngalir gitu aja. Harus ada cita-cita atau tujuan yang harus diraih. Aku pernah baca sebuah postingan dari Ustadz Salim A Fillah intinya kurleb seperti ini,

“Kalau jalani hidup ngalir aja seperti air mungkin sudah lupa bahwa sejatinya air itu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah.”

Nah lho gimana enggak mau kan? Dari tinggi ke rendah.

Makanya dalam hidup harus ada cita-cita. Petuah dari murrobi (guru)ku bahwa cita-cita menghidupkan hati seorang muslim. Jika tak ada cita-cita maka seseorang akan mudah rapuh dan patah dalam menjalani hidup. Mengapa? Sebab ia bergerak tanpa ada yang ia tuju.

Ngeri kan ya?

Yuk pemanasan dulu sebelum ganti kalender. Saatnya pikirkan mimpi besar apa yang hendak diraih. Besar kecil itu relatif lho ya. Enggak boleh samain antara satu dengan yang lain. Yang mimpinya kecil enggak boleh minder dan yang mimpinya besar enggak boleh sombong juga. Kalau udah dipikikan jangan lupa ditulis. Agar setiap saat bisa melihatnya untuk memantik bara semangat sekaligus agar mestakung alias semesta mendukung.

Aku rasa aku perlu menuliskannya di sini. Dalam menuliskan mimpimu terdapat dua hal ini perlu diingat dan dicermati betul. Apa itu? Saat menulis impian harus diiringi rasa khauf (rasa takut) dan raja’ (rasa berharap). Why? Karena kita tidak tahu cita-cita apa yang diridhoi Allah dan kapan Allah meridhoinya. Waspadalah! #bacaversibangnapi Apa yang kita rasa baik belum tentu di hadapan Allah itu juga baik (Qs.Al-Baqarah: 216).

Untuk itu perlu dibubuhkan kalimat  “atau yang terbaik untuk saya” di ujung kalimat impian kita. Contoh, saya harus... di tahun 2019 atau yang terbaik untuk saya. Tujuannya apa? Agar kita tidak stres dengan mimpi yang tak kunjung terwujud. Atau mimpi yang meleset sangat jauh dari harapan. Ujung-ujungnya kecewa dan tak mau memperjuangkannya kembali. Naudzubillah. Lagi-lagi sebagai manusia hanya bisa berencana dan Allah yang akan berperan dalam menentukan apa yang terbaik untuk kita.

Senyumin dulu ah. Karena aku murah senyum #pedebanget

Untukmu dan untukku,
Jangan takut menjadi seorang pemimpi. Pemimpi yang memperjuangkan apa yang telah ia rajut dalam bingkai aksara. Lalu diperjuangkan dengan bumbu cinta dalam menjalaninya. Menulis mimpi dan mewujudkannya salah satu sarana dan ikhtiar agar di hadapan Allah nanti diputarkan film terbaik. Bagaimana kita mengisi detak detik waktu yang telah diberikan oleh Allah dengan hal-hal bermanfaat.   

“Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga RasulNya dan orang-orang mukmin dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 105)

Tulisan ini sebagai pengingat penulis. Karena penulis juga sedang belajar merajut mimpi dan memperjuangkannya. Demi menjadi manusia yang lebih baik.

Sudahkah dia dalam hidupmu?

Salam hangat. Tunggu kisah selanjutnya.

Tumpukan potongan flanel


Agenda kelompokku pekan ini ialah bersilaturahim ke Rumah Craft Mal Mel. Di sana kami belajar langsung dari pemiliknya. Kamipun langsung dihadapkan dengan satu jenis kain dengan aneka warna. Memang di tempat ini kain tersebut unggulannya di samping kain katun. Warnanya sungguh ciamik. Membuat pikiran cling seketika setelah berjibaku dengan riuhnya jalan Slamet Riyadi.

Sebelum memulai membuat buket bunganya, ramah tamah dengan pemilik tujuan utama kami ke sini. Pemilik tersebut notabene seorang ibu rumah tangga yang nyambi craft. Ia berpesan kepada kami semua:
“Wanita itu enggak wajib mencari nafkah namun wajib upgrade skill”

Entah kenapa langsung termotivasi mendengar perkataan itu. Kemudian saat kain yang akan diolah berada di hadapanku. Aku membelainya lembut dan aku menyapanya dalam hati

“Hai! Apa kabar dirimu? Lama sudah kita berpisah.”

Kenangan masa lalupun terputar kembali.
***

Pertama kali aku mengenalnya saat temanku membuat sarung laptop sapi yang unyu. Aku kepo dengan kain apa yang dipakainya. Bewarna warni segar di mata. Agak kaku tapi mudah dibentuk. Memiliki tekstur sendiri. Lembut kasar gimana gitu. Bisa menebak kain apakah itu? Yups, ternyata kain flanel namanya. Tak cukup sampai disitu. Aku bertanya dimana ia membelinya, berapa harganya, dan cara menjahitnya.
Bersyukur sekali temanku itu mau menularkan kemampuannya. Ia mau mengajariku yang cengoh akan hal-hal baru dalam hidupku. Dia sabar dan telaten pula. Penasaran siapakah dia? Ia bernama Elsita.

Ia mengajariku pertama kali cara menjahit dengan tusuk festoon. Tidak seketika waktu itu aku langsung bisa mengikutinya, hehe. Butuh berulang kali salah. Bahkan berulang kali bertanya sebab lupa langkah selanjutnya. Waktu itu aku puas-puasin untuk belajar darinya. Meskipun sebenarnya tidak puas karena ilmu yang nyantol alias yang bisa aku lakukan hanya tusuk feston saja.

Beberapa hari kemudian. Sungguh aku lupa bagaimana jalan ceritanya. Tiba-tiba temanku itu memberikan seluruh flanel yang ia miliki. Tak hanya itu jarum, benang, dan dakronnyapun turut merangsek ke dalam tas kresek yang ia berikan kepadaku. Masyaa Allah, rezeki yang tak terduga. Ada rasa sungkan waktu itu untuk menerimanya. Lalu terlontar dari mulutku, "Aku ganti berapa nih El?”

"Sudah. Enggak usah diganti, Mi. Itu buat kamu aja." Jawabnya.

"Beneran nih? Alhamdulillah. Makasih Elsita."

Seneng dong rasanya dikasih yang kita pengenin. Tapi di sisi lain aku sedih mau aku apakan kain-kain unyu ini. Belum ada ide kala itu. Sementara waktu aku diemin begitu saja kain-kain di dalam kardus.

Suatu ketika kebosananpun melanda dengan hebat. Bagaimana tidak? Waktu tunggu selesai Ujian Nasional hingga pengumuman SNMPTN sangatlah luama. Dua bulan kalau tidak salah. Menonton tayang di televisi bosan karena acaranya begitu-begitu saja. Mainan hape juga bosan. Waktu itu hape masih Nokia yang polikrom. Bisanya cuma SMS-an lalu ujung-ujungnya main Nature Park ngalahin skor sendiri.

Kebosanan akut mengingatkanku akan kain flanel waktu itu. Aku bongkar-bongkar seolah mencari mangsa. Flanel mana yang akan aku eksekusi hari ini. Setelah dapat kumulai dengan menggambar pola yang paling mudah yaitu lingkaran sebanyak dua buah. Lalu aku salurkan ilmu tusuk feston dari Elsita tuk rekatkan dua buah lingkaran. Sebelum dijahit penuh aku sumpali dengan awan putih sintetis. Menggembung sudah. Kujahit kembali hingga rapat supaya “awan” tak mencuat ketika dipencet-pendet. Lumayan rapi untuk percobaan pertama dan pemula.

Singkat cerita aku akhirnya memproduksi gantungan kunci karakter. Waktu itu aku membuat karakter doraemon, hello kity, dan angry bird yang lagi hits semirip mungkin. Alhamdulillah tidak hanya berujung di dalam kardus saja. Hasil karyaku aku kemas dan kujual. Sebenarnya menjual itu hanya kegiatan iseng-iseng saja. Gara-gara kedua adikku yang duduk di sekolah dasar waktu itu entah bagaimana caranya mingin-mingini temannya. Kata orang, rezeki enggak boleh ditolak. Aku iya-in aja pesanan itu.

Saat menyelesaikan list pesanan tiba-tiba aku kehabisan stok bahan. Mau enggak mau harus beli di toko yang berada di Jalan Kalilarangan. Karena disitu yang aku tahu.

Pertanyaannya aku akan naik apa kesana?
Kalau mau naik bus dari segi ongkos, waktu, dan tempat pemberhentian sangat tidak efektif. Yang terparkir di teras rumah hanya sepeda onthel. Punyanya sepeda ya naik sepeda.

Rumahku dimana?
Belakang rumah sakit dr Oen Kandangsapi. So sweet bukan? Sungguh the power of niat. Ngos-ngosan, euy. Tak ketinggalan bermandikan sinar matahari yang mulai meninggi. Waktu itu belum ada ojol macam sekarang yang tumbuh bak jamur di musim penghujan. Tinggal klik saja langsung menjemput di depan rumah. Sungguh tiap apa yang diperjuangkan akan menemui kelezatannya masing-masing. Tergantung cara olahnya saja.

Nah, pesanan ganci yang touch in heart banget itu ketika budheku memesan gantungan love ukuran besar. Wew buat siapakah gerangan? Ternyata gantungan kunci itu untuk pacarnya masku. Alhamdulillah sekarang sudah jadi istrinya. Alhamdulillah enggak kaya  cuitan zaman sekarang, “pacarane mbi aku nikahe mbi wong  liyo” nyesek enggak sih? Mending pacarannya setelah nikah aja.

Hehe hanya intermezo netizen. Bersyukur deh budheku mempercayakan sepenuhnya kepadaku. Aku tambah greget untuk mengerjakannya. Tambah pengalaman juga. Senangnya dapat selesai tepat waktu dan langsung meluncur segera ke calon mantunya.  

Sayang, kegiatan ini hanya bertahan di masa kumenunggu pengumuman dan awal-awal masuk kuliah. Kegiatan njlimet semacam itu suka sebenarnya. Apalagi bisa tambah-tambah uang saku. Dengan berat hati aku berpisah dengan flanel. Ada tugas lain yang akan menyita waktuku. Sungguh liburan produktif. Liburan menyenangkan dan mengenyangkan.

***
Begitulah rasanya kalau bersentuhan dengan flanel. Langsung terngiang akan episode kehidupan yang pernah aku jalani. Memang sih belum berjodoh untuk menjadi bisnis yang berkembang dan memiliki omset besar. Namun aku bersyukur ketika dibenturkan dengan hal-hal semacam itu hal baru tentunya, minimal dapat meningkatkan skill. Eits, harus dirawat pula dengan kemauan belajar terus dalam diri juga ya agar menjadi orang yang kapabel di bidang tersebut. Jadi kalau sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mencari nafkah, uang jajan, atau membantu orang lain enggak usah mikir terlalu lama. Dan langsung teringat namamu. 

Pesan aku untuk pembaca setia.

“Galilah dan tingkatkan skillmu di luar profesi atau bidangmu. Awali dari apa yang kamu sukai. Lalu belajarlah langsung dari ahlinya sekaligus berlatih. Yakinlah suatu saat ia akan mekar indah di musim yang tepat baik untuk dirimu sendiri atau orang lain.”
Cukup curhatan hari ini. Semoga ada manfaatnya yang bisa diambil untukmu. See you di tulisan berikutnya.

Salam
Amiamia –Pegumpul cahaya yang berserak



Pernah dengar tidak kata orang, “Siapa yang menanam dia akan yang menuai?”

Walaupun kenyataannya tidak semua yang kita tanam kita sendiri yang akan memetiknya. Nggak percaya?

Contohnya begini, kamu menanam biji buah mangga di depan rumah. Lalu, dengan penuh kasih sayang kamu menyiraminya, memupuknya, bahkan menjaganya dari ganasnya ulat-ulat yang gemash. Setelah tumbuh semakin besar dan berbuah, apalagi buahnya lebat. Saya tebak, tidak seluruhnya kamu yang memetiknya. Mungkin saja yang memanen ialah para codot dan ulat yang kelaparan. Atau Jatuh di tangan segerombolan anak yang membawa tongkat pemburu layangan putus.  Bahkan tetangga kamu yang tak sengaja kejatuhan mangga yang ranum.

Wah…wah…wah iya kan? Apakah sepenuhnya kamu yang memetiknya? Yes or No? Sudah, ikhlasin aja. Kalau ikhlas insyaa Allah, Allah akan membalasnya. Bisa di dunia atau ditabung dulu untuk dunia yang abadi kelak.

Alhamdulillaah, Allah mengirimkan orang-orang yang mengingatkan akan hal itu. Melalui percakapan yang tidak sengaja ataupun sebuah nasihat. Hingga aku merasa tersentil dan harus menuliskannya dalam coretan yang mungkin bermanfaat untuk orang lain. Selebihnya untuk catatan pengingatku saja.

Bahwa kebaikan-kebaikan yang kita rasakan saat ini belum tentu buah dari kebaikan yang sudah kita lakukan. Bisa jadi, kebaikan yang kita nikmati dikala senang atau haru bahagia merupakan buah kebaikan dari orangtua kita. Mungkin juga, ketidak baikkan yang kita terima saat ini bisa jadi berasal dari hulu yang sama.

Dan bisa jadi kebaikan maupun keburukan yang telah kita lakukan akan berimbas kepada keluarga kita. Kepada ayah, ibu, adik, maupun keturunan kita.

Bisa instan, secepat membuat mie rebus. Atau dengan lika liku luar biasa baru akan terasa. Manis. Asam.  Pahit. Atau nano-nano.

Tak ruginya mulai berbenah saat ini. Tak ada salahnya pula berusaha menanam biji-biji dengan kualitas baik. Meski harus bersusah payah mengenyahkan biji-biji yang tidak layak tanam berhiaskan peluh keikhlasan. Karena semua akan indah pada waktunya.

Salam



"Coba pak, mungkin bisa dishare ke mahasiswa bagaimana orang tua Anda mendidik sewaktu kecil hingga Anda bisa sampai seperti ini?" pertanyaan pengisi seminar untuk bapak paruh baya. Tidak lain ialah pengisi materi diacara yang sama.

Bapak itu seketika menghentikan tulisannya disebuah buku kecil. Kemudian ia berdeham sambil membenarkan tempat duduknya. Bapak berkacamata itu kemudian angkat bicara.


Diapun berterimakasih kepada pembicara yang memberikan pertanyaannya kepadanya. Bapak berkumis dan berjenggot itu mulai mengkisahkan bagaimana ia sewaktu kecil. Ia besar dan lahir di Provinsi Yogyakarta tepatnya di daerah Bantul. Disanalah ia hidup bersama bapak ibunya dan sebelas saudaranya. Bapaknyalah yang banting tulang untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan ibunya bertugas menjaga dan merawat mereka di rumah. Tanpa ada asisten rumah tangga. Rumahnya cukup untuk menampung ke empat belas orang yang tinggal di dalamnya. Alhamdulillah gaji ayahnya juga cukup untuk menghidupi keluarganya. Ia serba kecukupan.


Sembari membenarkan kacamatanya ia pun melanjutkan kisahnya. Bapak sangat protektif apa yang kami makan maupun yang kami pakai. Jika ada kiriman dari orang bertandang ke rumah, semua akan ditanya darimana asal muasal barang tersebut. Pernah ada nasi bungkus yang diantar oleh seseorang ke rumah dan bungkusan tersebut ternyata dari tetangga yang menggelar hajat. Bapak pun tidak melarang kami untuk memakannya bahkan beliau mempersilakan. Namun, jika ada bungkusan karena profesi bapak bapak pun menyuruh kami tidak memakannya bahkan mengembalikannya.


Suatu ketika ada kiriman dipan kayu yang gagah nan apik ke rumah. Kami kira bapak membelinya. Kami pun merasa senang bapak membeli barang tersebut. Sesampainya di rumah bapak pun terheran-heran dengan keberadaan dipan tersebut. Kemudian bapak menanyai kami apakah ibu membelinya? Kami pun menggeleng atas ketidaktahuan kami. Saat ibu keluar dari bilik rumah dan menghampiri bapak. Bapak pun bertanya kembali apakah ibu yang membelinya? Justru ibu berbalik bertanya.


“Bukannya bapak yang membelinya?” kemudian bapak menilisik siapa yang mengirimkannya. Kemudian bapak bertanya siapa penerima dipan ini? Ternyata ibulah yang menerimanya. Kemudian ibu menyodorkan secarik kertas yang ditipkan oleh kurir tersebut. Bapak pun membacanya dan mengingat nama yang tertera dalam lembaran yang bertuliskan tinta tersebut.


Bapak menyuruh kami bersiap-siap untuk mengantar kembali barang mebel tersebut. Terlihat muka bapak yang geram setelah membaca kertas tersebut.

    “Mau dikembalikan kemana ini pak?”

    “Kepada yang punya! Singkatnya.
    “Emang siapa pak yang punya?”

    “Orang yang kemarin kasusnya bapak bebaskan karena tidak bersalah. Bapak tidak suka pemberian semacam ini. Kata dia ucapan terimakasih, tetapi menurut bapak pemberian ini karena profesi bapak. Kasus selesai ya selesai.” Ujarnya

    “Ini pelajaran buat kita semua.” Tambahnya


Bapak yang mengenakan batik senada ini, ternyata bapaknya ialah seorang pengadil disuatu pengadilan negeri agama. Sering kali bapaknya memperoleh kiriman-kiriman semacam itu sebagai tanda terimakasih. Bapaknya pun juga gencar mengembalikannya kepada si pengirim. Bapaknya tidak mau anak-anaknya mengkonsumsi hal-hal yang sejatinya haram bagi mereka. Sebuah keyakinan dan ikhtiar seorang bapak untuk melindungi anak-anaknya sebagai imbas profesinya di tanah basah. Sekaligus sebagai contoh untuk anak-anaknya kelak ketika mengemban pekerjaan terjamin kehalalannya rezekinya. Bapaknya berpesan dari suatu hadits berbunyi :

Dari Abu Abdullah, Nu’man bin Basyir ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasululloh SAW bersabda,’Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram juga jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui (status hukumnya) oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dalam perkara-perkara syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya. Dan barangsiapa yang terjerumus dalam perkara-perkara syubhat maka dikhawatirkan ia terjerumus dalam perkara yang haram, sebagaimana seorang penggembala  yang menggembala di sekitar daerah larangan maka dikhawatirkan hewan gembalaannya akan masuk merumput di dalam daerah larangan tersebut. Ketahuilah seseungguhnya setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah hal-hal yang di haramkan. Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging yang apabila ia baik maka baik pula seluruh anggota tubuh lainnya, dan apabila ia jelek maka jelek pula seluruh anggota tubuh lainnya. Ketahuilah sesungguhnya daging tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

              ***

Upaya yang dilakukan bapaknya membuahkan hasil. Contohnya bapak yang berbicara di hadapan saya ini. Ketiga gelar yang ia dapatkan ia peroleh dari mengenyam pendidikan di Jerman. Sekarang ia bekerja di instansi dinas milik pemerintah di Jakarta. Ia pun juga memimpin keluarga kecilnya sendiri yang mana teladan-teladan baik dari bapaknya ia terapkan pada keluarga tersebut.


So, gimana reader? Mengejar Halal? Mengapa tidak? Meski bersusah payah untuk mendapatkannya Insyaa Allah itu lebih baik. Faktanya dengan memperhatikan kehalalan yang kita konsumsi baik zatnya, cara mengelolanya, bahkan cara memperolehnya jelas memberikan efek yang besar bagi kehidupan kita. Pengaruh terbesarnya bagi hati hati kita. Karena hati akan mempengaruhi segala perilaku yang tercermin dalam kehidupan kita. Saatnya sekarang bagi kamu pilih Halal atau sebaliknya?


Semoga bermanfaat



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Tentangku

Foto saya
Amiamia
Halo! Aku Ami seorang narablog dan penulis 3 buku antologi. Blog ini seputar review buku, kuliner, review produk UMKM, dan lifestyle. Khusus traveling aku abadikan di blog Amiamia's Journey, ya. Happy reading!
Lihat profil lengkapku

FOLLOW ME

  • Instagram: @_amiamia
  • Twitter: @amiamiahome
  • Amiamia's Journey

Entri yang Diunggulkan

Selembar Moment

Buku yang sudah dibaca di Tahun 2022

  • Aku Takut KehilanganMu - Maman Suherman
  • Ngeblog Dari Nol - Widyanti, dkk (IIDN)
  • Bekisar Merah - Ahmad Tohari
  • Api Tauhid - Habiburrahman El Shirazy

Arsip Blog

  • ►  2022 (6)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2018 (4)
    • ▼  Desember (2)
      • Sudahkah Aku di Hidupmu?
      • Berawal dari Kain
    • ►  April (2)
      • Cahaya yang Berserak #1
      • Dibalik Akar Sang Ilmuwan
  • ►  2017 (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2016 (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2015 (6)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (1)
    • ►  November (1)

Label

  • Lomba blog
  • Opini
  • Review

Silaturahim Yuk

Nama

Email *

Pesan *

Total Tayangan Halaman

Tentang Penulis

Foto saya
Amiamia
Halo! Aku Ami seorang narablog dan penulis 3 buku antologi. Blog ini seputar review buku, kuliner, review produk UMKM, dan lifestyle. Khusus traveling aku abadikan di blog Amiamia's Journey, ya. Happy reading!
Lihat profil lengkapku

Advertisement

Copyright © 2016 Catatan Amiamia. Created by OddThemes